Rabu,30 September 2009; sebelum pukul 17.30 dunia rasanya berjalan normal bagi saya,senormal yang bisa dibayangkan di awal perkuliahan setelah libur Lebaran.;
Pukul 17.45 kenormalan yang saya dinikmati sedikit terusik setelah melihat update status teman di Facebook bahwa ada gempa di Padang. Kota Padang Tercinta memang sering diguncang gempa,bahkan sebelum Ramadhan tahun ini pun gempa sempat menggoyang Kota Padang, namun karena gempa yang terjadi tak bernah meninggalkan kerusakan yang serius tak ada yang terpikir selain rangkaian santai ,”Astaghfirullah.Gempa lagi…”.;
Pukul 18.02, saya berangkat ke masjid untuk shalat maghrib berjamaah, berjalan tanpa bayangan apa-apa bahkan setelah membaca update status teman,” gempa di padang,semua bangunan lantai 3 roboh semua, . . .”;
Pukul 18.15, salah satu TV swasta mulai menayangkan Breaking News tentang gempa yang mengguncang Sumbar disertai pemutaran video kerusakan-kerusakan akibat gempa. Ketakutan mulai menggantung saat akhirnya TV One dan Metro TV memutar video kepanikan warga Kota Padang saat gempa 7,6 skala richter (SR) mengguncang Padang dengan kedalaman 71 kilometer bersumber di arah 57 km barat daya Pariaman pada pukul 17.16.09 WIB.
Menyaksikant wajah-wajah ketakutan di tayangan itu,melihat warga yang berlari dengan panik mencari perlindungan,gambaran bangunan-bangunan roboh yang rata dengan tanah,mendengar suara tangisan anak kecil yang ketakutan,suara-suara ketakutan yang meneriakkan kebesaran Allah, akhirnya menyentakku dengan ketakutan nyata yang akhirnya kurasakan. Astaghfirullah…
Ketakutan itu nyata. Senyata ingatanku saat mengalami sendiri gempa berkekuatan 6,sekian SR saat sedang belajar biologi di ruangan kelas di lantai tiga saat masih duduk di kelas 3 SMA, senyata ketakutan yang sejak saat itu mulai kurasakan saat sedikit guncangan terasa menggoyang gedung tempat kuberpijak, senyata sekeping informasi yang masih tersimpang saat para ahli mengatakan bahwa Sumbar berada di titik pertemuan 3 lempeng bumi yang masih aktif bergerak yang jika pada saatnya akan mengeluarkan energi sangat besar yang disimpannya melalui gempa yang mungkin saja lebih besar dari gempa yang menghilangkan nyawa lebih dari 200ribu saudara di NAD, senyata gambar kepanikan warga,senyata suara tangis yang mengiris,senyata sepotong gambar yang memperlihatkan sesosok kaki manusia yang tak bergerak diatas tumpukan beton yang entah berapa beratnya, senyata ketakutanku saat membayangkan jika Ibu,Kakak,Nenek,Paman2 dan Bibi2ku,semua sepupuku,Ayah,teman2 dan semua orang-orang yang kusayangi berada di antara orang-orang yang berlari tak berdaya mencari perlindungan di tengah kepanikan,berada di antara puing-puing di semua tempat di Kota tempatku menghabiskan 17 tahun hidupku.Astaghfirullah hal’adzim…
[2:155] “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Maha Benar Engkau dengan segala firman-Mu ya Allah.
Inilah ketakutan yang telah Kau nyatakan ya Rabb, cobaan yang akhirnya hamba rasakan. Ketakutan saat melihat sendiri kota tempat hamba telah menghabiskan 17 jatah hidup hamba tak berdaya saat Kau tunjukkan kekuasan-Mu. Ketakutan dalam ketidaktahuan akan nasib keluarga hamba. Ketakutan akan waktu dimana Engkau memulangkan keluarga yang hamba sayangi ke hadiratMu. Ketakutan yang membuat hamba merasa lemah tak berdaya tunduk pada kebesaranMu. Ketakutan yang membuat hamba menyesali perjalanan hidup yang dipenuhi kesombongan. Ketakutan yang membuat hamba merasa hina saat kekufuran hamba tak menghalangi limpahan kasih sayangMu.Astaghfirullah hal’adzim…
Sungguh tak ada satupun peristiwa yang terjadi di bumi Allah ini terjadi dalam kesia-siaan,selalu ada hikmah di balik setiap ketetapanNya. Hikmah yang membuat saya menyadari saat ketakutan itu nyata, saat itulah kita menyadari ke-dhaif-an kita,ketidakberdayaan kita di bawah KebesaranNya, betapa kita menjalani setiap detik di dunia ini di bawah belas kasih,limpahan kasih sayangNYa, menyesali betapa kita telah melangkah dengan penuh kesombongan sementara tak ada sedikitpun kuasa yang kita miliki bahkan atas diri kita sekalipun, membuat saya yang buta ini menyadari tak ada tempat lain untuk bergantung dan berharap kecuali pada Allah Azza wa Jalla.
Dan saat kita sabar dan menyerahkan segala urusan pada sebaik-baiknya pengatur, berharap pada semurah-muranya pemberi, berdoa pada sebaik-baiknya pelindung dan mengembalikan semua urusan pada Allah subhanawata’ala, saat itulah ketakutan itu akan digantiNya dengan ketenangan.
Pukul 22.45 malam itu, setelah mencoba sekian kali menghubungi keluarga di Padang, akhirnya telepon saya pun tersambung, langsung dijawab oleh Ibu saya. Suara beliau yang tenang cukup memberi tahu saya bahwa keadaan beliau baik-baik saja,walaupun beliau tidak mendengar suara saya karena masih terganggunya jaringan selular. Pukul 23.25 akhirnya saya bisa berkomunikasi dua arah lewat handphone bibi saya, dari beliau saya tahu bahwa semua keluarga saya dalam keadaan baik-baik saja dan sudah berkumpul semuanya di rumah nenek saya. Dan untuk melengkapi ini,esok harinya saya mendapatkan kabar lengkap dari kakak saya tentang kondisi keluarga di sana.Alhamdulillah…
Dan sekali lagi Allah menunjukkan kasih sayangNya pada kami, padahal kecamatan tempat semua keluarga saya berada berbatasan langsung dengan Kab. Padang Pariaman, daerah tempat gempa besar itu berpusat, dan semua keluarga saya masih diberi perlindungan dan tak ada satupun yang terluka. Subhanallah Alhamdulillah Allahu akbar… Maha Suci Engkau ya Allah dengan segala Kemurahan dan KebesaranMu.